rienworld

Monday, May 18, 2009

Perlunya Second Opinion Dokter

Second opinion dari dokter penting. Dokter sama dengan manusia lainnya. Bisa saja salah dalam mendiagnosa atau memberikan resep obat. Pasien hendaknya kritis dan banyak bertanya. Namun masalahnya banyak dokter yang kesannya alergi untuk dicecar pertanyaan oleh pasiennya. Jawabnya paling tidak apa-apa, memang begitu, normal kok.
Padahal hal itu tidak menjawab sama sekali pertanyaan pasien.
Hal ini pulalah yang pernah saya alami ketika mengantarkan bayi saya yang baru berumur 4 bulan ke sebuah rumah sakit swasta di Tangerang karena terus menerus BAB (Buang Air Besar) Sehari bisa lebih dari 6 kali. Dokter yang memeriksa mengatakan bahwa anak kami menderita alergi susu sapi. Disarankan untuk mengkonsumsi susu NAN HA. Selain itu dokter yang cukup senior tersebut menyarankan untuk menghentikan pemberian susu sapi yang non-HA. Beliau juga meresepkan probiotik untuk meningkatkan selera minum bayi kami (karena NAN-HA tidak semanis susu sapi yang biasa) serta antobiotik.
Tapi setelah seminggu kok BAB masih sering ya? Bahkan sampai pantat anak kami lecet. Ini yang jadi pertanyaan. Kami kembali membawanya dokter yang sama. Kebetulan saat di rumah sakit itu anak kami BAB.
“Dok kebetulan anak kami di BAB, perlu diperiksa Dok?”
“Tidak perlu. Tidak apa-apa.”
“Ada sebaiknya diperiksa, Dok?”
“Tidak perlu.”
Bagaimana ia tahu kalau tidak melihatnya. Kami saja cemas melihat BAB anak kami yang encer. Dokter itu bilangtidak apa-apa. Ia hanya sibuk membaca riwayat penyakit anak kami. Lagi-lagi dia memberikan resep yang sama. Terus terang kami tidak puas dan ingin bertanya. Namun lagi-lagi dokter tersebut hanya menjawab sekenanya. Benar saja dua hari dari sana bayi kami masih BAB. Akhirnya kami putuskan untuk memeriksakan ke dokter lain di RS Glen Eagle Siloam Lippo Karawaci. Terlihat dokter-dokter di sini lebih profesional. Kebetulan bayi saya BAB lagi di rumah sakit tersebut. Tapi belum sempat kami ceritakan dokter tersebut sudah bertanya duluan.
“Lagi BAB ya, Bu?”
“Iya, Dok.”
“Coba saya lihat.”
Nah, begitu dong dokter yang profesional. Proaktif dan care sama pasiennya. Iya melihat BAB anak kami yang terdapat pada diaper. Coba bandingkan dengan dokter pertama yang masa bodoh. Melihat saja tidak.
“Periksa saja di lab. Hasilnya satu jam lagi. Tidak apa-apa kan Bu, menunggu?”
“Tidak apa-apa.”
Terus terang saya jutru senang dengan tawarannya. Jadi diagnosa yang diambil lebih akurat, tidak asal omong saja. Kami menunggu sekitar sejam. Begitu hasil lab keluar, kami dipanggil kembali oleh dokter tersebut.
“Dari hasil analisa lab, BAB anak Ibu baik-baik saja. Tidak ada darah, cacing, kuman, atau bakteri. Artinya anak Ibu memang alergi susu bayi.”
Kami ceritakan juga waktu memeriksa bayi kami ke dokter yang pertama.
“Diagnosa dokter itu benar. Tapi kenapa masih terus menerus BAB. Ibu bawa resep yang diberikan dokter itu?”
Sengaja saya memang membawanya. Saya tunjukkan ke dokter.
“Ini benar diberi susu NAN-HA. Probiotik juga benar. Tapi kenapa anak ibu diberi antibiotik?”
“Memangnya kenapa, Dok?”
“Probiotik untuk meningkatkan bakteri baik yang membantu pencernaan bayi. Tapi antibiotik justru mematikannya. Jadi justru antibiotik ini tidak efektif.”
Pantas saja.
Dokter akhirnya merekomendasi susu NAN-HA, probiotik, dan tidak menganjurkan antibiotik. Dokter itu pun menjelaskan banyak hal tanpa kami minta. Bahkan ia menanyakan pada kami apalagi yang menjadi pertanyaan kami biar tidak penasaran. Beliau juga menyarankan pada kunjungan selanjutnya menyiapkan daftar pertanyaan biar kami tidak penasaran. Beda dengan yang pertama, no comment. Anak kami pun sembuh setelah dari dokter yang kedua. Itulah gunanya second opinion.
Lihat juga artikel Informasi Kesehatan.

Labels:

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]



<< Home